A.
Pengertian Pembaharuan dalam Islam
Kata yang lebih di kenal untuk pembaharuan
adalah modernisasi. Kata modernisasi lahir dari dunia barat, adanya sejak
terkait dengan masalah agama. Dalam masyarakat barat kata modernisasi
mengandung pengertian pemikiran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah
paham-paham, adat istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya. Agar emua
itu dapat disesuaikan dengan pendapat-pendapat dan keadan baru yang ditimbulkan
oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi modern.
Pembaharuan Islam adalah upaya untuk
menyesuiakan paham keagamaan Islam dengan perkembangan dan yang ditimbulkan
kemajuan ilmu pengetahuan dan terknologi odern. Dengan demikian pembaharuan
dalam Islam ukan berarti mengubah, mengurangi atau menambahi teks Al-Quran
maupun Hadits, melainkan hanya menyesuaikan paham atas keduanya. Sesuai dengan
perkembangannya zaman, hal ini dilakukan karena betapapun hebatnya paham-paham
yang dihasilkan para ulama atau pakar di zaman lampau itu tetap ada kekurangannya
dan selalu dipengaruhi oleh kecendrunagan, pengetahuan, situasional, dan
sebagainya. Paham-paham tersebut untuk di masa sekarang mungkin masih banyak
yang relevan dan madih dapat digunakan, tetapi mungkin sudah banyak yang tidak
sesuai lagi.
Kata tajdid sendiri secara bahasa berarti
“mengembalikan sesuatu kepada kondisinya yang seharusnya”. Dalam bahasa Arab,
sesuatu dikatakan “jadid” (baru), jika bagian-bagiannya masih erat menyatu dan
masih jelas. Maka upaya tajdid seharusnya adalah upaya untuk mengembalikan
keutuhan dan kemurnian Islam kembali. Atau dengan ungkapan yang lebih jelas,
Thahir ibn ‘Asyur mengatakan,
Pembaharuan agama itu mulai direalisasikan
dengan mereformasi kehidupan manusia di dunia. Baik dari sisi pemikiran
agamisnya dengan upaya mengembalikan pemahaman yang benar terhadap agama
sebagaimana mestinya, dari sisi pengamalan agamisnya dengan mereformasi
amalan-amalannya, dan juga dari sisi upaya menguatkan kekuasaan agama.
Pengertian ini menunjukkan bahwa sesuatu yang
akan mengalami proses tajdid adalah sesuatu yang memang telah memiliki wujud
dan dasar yang riil dan jelas. Sebab jika tidak, ke arah mana tajdid itu akan
dilakukan? Sesuatu yang pada dasarnya memang adalah ajaran yang batil –dan
semakin lama semakin batil-, akan ditajdid menjadi apa? Itulah sebabnya, hanya
Syariat Islam satu-satunya syariat samawiyah yang mungkin mengalami tajdid.
Sebabnya dasar pijakannya masih terjaga dengan sangat jelas hingga saat ini,
dan dapat dipertanggungjawabkan. Adapun Syariat agama Yahudi atau Kristen
–misalnya-, keduanya tidak mungkin mengalami tajdid, sebab pijakan yang
sesungguhnya sudah tidak ada. Yang ada hanyalah “apa yang disangka” sebagai
pijakan, padahal bukan. Tidak mengherankan jika kemudian aliran Prostestan
menerima “kemenangan” akal dan sains atas agama, sebab gereja pada mulanya
tidak menerimanya, sebab teks-teks Injil tidak memungkinkan untuk itu. Dan yang
seperti sama sekali tidak dapat disebut sebagai tajdid.
Dalam Islam sendiri, seputar ide tajdid ini,
Rasulullah saw. sendiri telah menegaskan dalam haditsnya tentang kemungkinan
itu. Beliau mengatakan, yang artinya:
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk ummat
ini pada setiap pengujung seratus tahun orang yang akan melakukan tajdid
(pembaharuan) terhadap agamanya.” (HR. Abu Dawud , no. 3740).
Tajdid yang dimaksud oleh Rasulullah saw di sini
tentu bukanlah mengganti atau mengubah agama, akan tetapi –seperti dijelaskan
oleh Abbas Husni Muhammad maksudnya adalah mengembalikannya seperti sediakala
dan memurnikannya dari berbagai kebatilan yang menempel padanya disebabkan hawa
nafsu manusia sepanjang zaman. Terma “mengembalikan agama seperti sediakala”
tidaklah berarti bahwa seorang pelaku tajdid (mujaddid) hidup menjauh dari
zamannya sendiri, tetapi maknanya adalah memberikan jawaban kepada era
kontemporer sesuai dengan Syariat Allah Ta’ala setelah ia dimurnikan dari
kebatilan yang ditambahkan oleh tangan jahat manusia ke dalamnya. Itulah
sebabnya, di saat yang sama, upaya tajdid secara otomatis digencarkan untuk
menjawab hal-hal yang mustahdatsat (persoalan-persoalan baru) yang kontemporer.
Dan untuk itu, upaya tajdid sama sekali tidak membenarkan segala upaya
mengoreksi nash-nash syar’i yang shahih, atau menafsirkan teks-teks syar’i
dengan metode yang menyelisihi ijma’ ulama Islam. Sama sekali bukan.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tajdid
dalam Islam mempunyai 2 bentuk:
Pertama, memurnikan agama -setelah perjalanannya
berabad-abad lamanya- dari hal-hal yang menyimpang dari Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Konsekuensinya tentu saja adalah kembali kepada bagaimana Rasulullah
saw dan para sahabatnya mengejawantahkan Islam dalam keseharian mereka.
Kedua, memberikan jawaban terhadap setiap
persoalan baru yang muncul dan berbeda dari satu zaman dengan zaman yang lain.
Meski harus diingat, bahwa “memberikan jawaban” sama sekali tidak identik
dengan membolehkan atau menghalalkannya. Intinya adalah bahwa Islam mempunyai
jawaban terhadap hal itu. Berdasarkan ini pula, maka kita dapat memahami bahwa
bidang-bidang tajdid itu mencakup seluruh bagian ajaran Islam. Tidak hanya
fikih, namun juga aqidah, akhlaq dan yang lainnya. Tajdid dapat saja dilakukan
terhadap aqidah, jika aqidah ummat telah mengalami pergeseran dari yang
seharusnya.
Banyak sekali peristilahan yang digunakan para
pe-nulis yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pemba-haruan, umpamanya
tajdid, ishlah, reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi
(resurgence), reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis.
Peristilahan se-perti ini timbul, bukan sekedar perbedaan semantik bela-ka,
akan tetapi dilihat dari isi pembaharuan itu sendiri.
1. Tajdid, Ishlah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan
reformasi; karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan
gerakan reformasi. Tajdid menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’ , mengembalikan
dan menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang
pernah ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah
ialah menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh
al-Quran dan al-Sunnah . Ulama salaf memberikan ta’rif tajdid sebagai berikut :
Menerangkan/membersih-kan Sunnah dari bid’ah memperbanyak ilmu dan
memu-liakannya, membenci bid’ah dan menghilangkannya” . Selanjutnya tajdid
dikatakan sebagai penyebaran ilmu, meletakkan pemecahan secara Islami terhadap
setiap problem yang muncul dalam kehidupan manusia, dan menentang segala yang
bid’ah. Tajdid tersebut di atas dapat pula diartikan sebagaimana dikatakan oleh
ulama salaf menghidupkan kembali ajaran salaf al-shaleh, meme-lihara nash-nash,
dan meletakkan kaidah-kaidah yang disusun untuknya serta meletakkan metode yang
benar untuk memahami nash tersebut dalam mengambil mak-na yang benar yang sudah
diberikan oleh ulama.
Dari definisi di atas nampak, bahwa tajdid
tersebut mendorong umat Islam agar kembali kepada al-Quran dan sunnah serta
mengembangkan ijtihad. Inilah makna tajdid yang dianut oleh kaum puritan yang
selama ini suaranya masih bergema. Tajdid seperti ini pula yang di-katakan
sebagai ishlah atau reformasi dalam Islam. Refor-masi itu sendiri, berdasarkan
sejarahnya, muncul akibat modernisasi muncul sebagai reaksi atas reformasi.
Reformasi adalah vis a vis modernisasi. Reformasi sebagai akibat adanya
penyimpangan agama dan teologi yang disebabkan oleh adanya sekularisme modern
(reformation as a religious and theological and the cauce of modern
secularism).
2. ‘Ashriyah dan Modernisasi
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab)
diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa
membedakan isi gerakan itu sendiri. Modernisasi, dalam masyarakat Barat,
mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah
faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagai-nya untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditim-bulkan oleh kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka
modernisasi dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti
rasionalisme, nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.
Penyesuaian ajaran seperti di atas disebut
modern karena dalam sejarahnya agama Katholik dan Protestan dahulu diajak
menyesuaikan diri dengan ilmu pengeta-huan dan falsafat modern. Sayangnya,
modernisaai di Barat ini akhirnya membawa kepada sekularisasi. Jika seandainya
demikian ternyata perkataan modern tidak sedikit dampaknya dan bahayanya dalam
pemahaman agama, seandainya tidak ada filter-filter tertentu untuk menyaringnya
sebagaimana terjadi di dunia Barat tadi. Itulah sebabnya barangkali Harun Nasution
tidak begitu sreg menggunakan kata modern sebagai gantinya dipilih kata
pembaharuan.
3. Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Kesemua peristilahan di atas mengandung arti
te-gak kembali atau bangkit kembali. Peristilahan revivali-sasi, pada dasarnya,
banyak sekali digunakan oleh para penulis. Fazlurrahman, misalnya, menggunakan
istilah ini, bahkan ia membaginya kepada dua bagian yaitu revivalis
pra-modernis dan revivalis neo modernis.
Penulis lain mengungkapkan kebangkitan kembali
dengan kata resurgence. Chandra Muzaffar yang menge-mukakan istilah ini dalam
tulisannya Resurgence A. Global Vew menyatakan bahwa adanya perbedaan antara
istilah revivalis dengan resurgence. Resurgence, adalah tindakan bangkit
kembali yang di dalamnya mengandung unsur :
1. kebangkitan yang datang dari dalam Islam
sendiri dan Islam dianggap penting karena dianggap mendapatkan kembali
prestisenya;
2. ia kembali kepada masa jayanya yang lalu yang
pernah terjadi sebelumnya;
3. bangkit kem¬bali untuk menghadapi tantangan, bahkan
ancaman dari mereka yang berpengalam-an lain.
Revivalisme juga berati bangkit kembali, tetapi
kem-bali ke masa lampau, bahkan berkeinginan untuk meng-hidupkan kembali yang
sudah usang. Renaisans, jika ha-nya diartikan secara umum nampaknya membangkitkan
kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan zaman, bahkan ada konotasi
menghidupkan kembali masa jahi-liyah, sebagaimana renaisans di Eropa yang
berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini ter-paksa
digunakan, maka Renaisans Islam harus berarti tajdid .
Karena itu, barangkali mengapa banyak para
penu-lis menggunakan Renaisans dalam menerangkan tajdid atau Pembaharuan dalam
Islam. Fazlurrahman, misalnya dalam bukunya Islam : Challenges and
Opportunities, me-nulis tentang Renaisans Islam : Neo Modernis. Istilah ini-pun
digunakan pula oleh editor buku A History of Islamic Phllisophy, M.M. Sharif,
tatkala rnenerang¬kan tokoh-to-koh pembaharuan dunia Islam, seperti Muhammad
ibn Abd al-Wahab, Muhammad Abduh dan lainnya di ba-wah judul Modern Renaissans.
Sementara itu reassertion berarti tegak kembali tetapi tidak mengandung
tan-tangan terhadap masalah sosial yang ada.
Demikianlah istilah tajdid, pembaharuan, yaitu
dike-mukakan oleh para ahli, mereka bukan hanya sekedar berbeda pendapat dalam
hal istilah yang digunakan, akan tetapi dalam makna dan isi pembaharuan itu
sen-diri. Itulah sebabnya orang sering mengatakan bahwa istilah Pembahruan
dalam Islam masih merupakan kon-troversi yang mengandung kebenaran. Dan itu
pula sebabnya mengapa Harun Nasution tidak banyak meng-gunakan peristilahan
yang banyak itu, kecuali menggu-nakan istilah pembaharuan, modern dan tajdid
sewaktu-waktu. Karena, yang penting adalah isi dan tujuan dari pembaharuan itu
sendiri kembali kepada ajaran-ajaran dasar dan memelihara ijtihad.
Pengertian Istilah
1. Harun Nasution cendrung menganalogikan
istilah “pembaharuan” dengan “modernisme”, karena istilah terakhir ini dalam
masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan, dan usaha mengubah
paham-paham, adt-istiadat, institusi lama, dan sebagainya unutk disesuaikan
dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran
yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuna modern.
Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, harun Nasution keberatan
menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas.
2. Revivalisasi. Menurut paham ini, “pembaharuan
adalah “membangkitkan” kembali Islam yang “murni” sebagaimana pernah
dipraktekkan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassalam dan kaum Salaf.
3. Kebangkitan Kembali ( Resugence ) Dalam kamus
Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the
act of rising again ). Pengertian ini mengandung 3 hal :
a. Suatu pandangan dari dalam, suatu cara dalam
mana kaum muslimim melihat bertambahnya dampak agama diantara para penganutnya.
Islam menjadi penting kembali. Dalam artian, memperoleh kembali prestise
dankehormatan dirinya.
b. “Kebangkitan kembali” menunjukkan bahwa
keadaaan tersebut telah terjadi sebelumnya. Jejak hidup nabi Muhammad
shalallahu ‘alaihi wassalam dan para pengikutnya memberikan pengaruh besar
terhadap pemikiran orang-orang yang menaruh perhatian pada jalan hidup Islam
saat ini.
c. Kebangkitan kembali sebagai suatu konsep,
mengandung paham tentang suatu tantangan, bahkan suatu ancaman terhadap
pengikut pandangan-pandangan lain.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern
memasuki dunia Islam terutama sesudah pembukaan abad ke-19 M, yang dalam
sejarah Islam di pandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia
barat selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti Rasionalisme,
Nasionalisme, Demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan
baru dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi
persoalan-persoalan itu.
Sebagaimana halnya di barat, di dunia Islam juga
timbul pikiran dan gerakan untuk menyesuaikan paham-paham keagamaan Islam
dengan perkembangan baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern itu. Dengan jalan demikian itu pemimpin-pemimpin Islam modern
berharap akan dapat melepaskan umat Islam nilai suasana kemunduran untuk
selanjutnya dibawa pada kemajuan.
Akan tetapi di sebagian umat Islam tradisional
hingga sat ini tampak ada perasaan masih belum mau menerima apa yang di maksud
dengan pembaharuan Islam. Hal ini, antara lain disebabkan karena salah persepsi
dalam memahami arti pembaharuan dalam Islam.mereka memandang bahwa pembaharuan
Islam adalah membuang ajaran Islam yang sama diganti dengan ajaran Islam baru,
padahal ajaran Islam yang lama itu berdasarkan hasil Ijtihad ulama besar yang
dalam ilmunya taat beribadah dan unggul kepribadiannya. Sedangkan ulama yang
sekarang di pandang kurang mendalami ilmu agamanya, kurang taat, dalam
beribadahnya, dan kurang baik budi pekertinya. Oleh Karena itu mereka masih
beranggapan bahwa pemikiran ulama di abad yang lampau sudah cukup baik dan
tidak perlu diganti dengan pemikiran ulama sekarang.
Selain itu ada pula yang memahami pembaharuan
Islam dengan mengubah Al-Quran dan Hadits, memahami Al-Quran dan Hadits menurut
selera orang yang memahaminya atau mencocokan-mencocokan makna Al-Quran dan
Hadits dengan makna yang dimaui oleh orang-orang yang menafsirkannya, sehingga
Al-Quran dan Hadits semacam setempel yang melegitimasi segala perbuatan yang
dilakukan manusia. Dengan kata lain, pembahasan Islam mereka persepsikan dengan
upaya mencocokkan kehendak Al-Quran dan Hadits dengan kehendak orang yang
menafsirkannya, bukan mengajak orang untuk hidup sesuai dengan Al-Quran dan
Hadits. Persepsi demikian hingga kini tampak di pegang terus oleh sebagian umat
Islam Tradisional tanpa mau melakukan dialog atau dikusi dengan para tokoh
Pembaharu Islam, sehingga munculah istilah kaum modernis dan kaum tradisional.
Modern berarti terbaru, mutakhir atau sikap dan
cara berpikir serta bertindak dengan tuntutan zaman.
Sedangkan modernisasi adalah pergeseran sikap
dan mentalitas sebagai warga masyarakat untuk bisa hidup sesuai dengan tuntutan
hidup masa kini.
Selain itu pembaharuan dalam Islam dapat pula
berarti mengubah keadaan umat agar mengikuti ajaran yang terdapat di dalam
Al-Quran dan Sunnah. Hal ini perlu dilakukan, karena terjadi kesenjangan antara
yang dikehendaki Al-Quran dengan kenyataan yamg terjadi di masyarakat. Al-Quran
misalnya mendorong umatnya agar menguasai pengetahuan agama dan ilmu
pengetahuan modern serta teknologi secra seimbang; hidup bersatu, rukun, dan
damai sebagai suatu keluarga besar; bersikap dinamis, kreatif, inovatif,
demokratis, terbuka, menghargai pendapat orang lain, menghargai waktu, menyukai
kebersihan, dan lain sebagainya. Namun kenyatan umatnya menunjukan keadan yang
berbeda. Sebagaian besar umat Islam hanya mengetahui pengetahuan agama
sedangkan ilmu pengetahuan modern tidak dikuasai bahkan dimusuhi; hidup dalam
keadan penuh pertentangan dan peperangan, satu dan lainnya saling bermusuhan,
statis, memandang cukup apa yang ada, tidak ada kehandak untuk meningkatkan
produktivitas dan efisiensi kerja, bersikap diktator, kurang menghargai waktu,
kurang terbuka, dan lain sebagainya. Sikap dan pandangan hidup umat demikian
jelas tidak sejalan dengan ajaran Al-Quran dan Sunnah, dan hal demikian harus
diperbarui dengan jalan kembali kepada dua sumber ajaran Islam yang utama itu.
Dengan demikian, maka pembaruan Islam mengandung maksud mengembalikan sikap dan
pandangan hidup umat agar sejalan dengan petunjuk Al-Quran dan Sunnah.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, Harun
Nasution dalam bukunya berjudul Pembaharuan dalam Islam telah banyak
mengemukakan ide-ide pembaharuan Islam dengan maksud seperti diungkapkan
diatas.
B. Latar Belakang Pembaharuan dalam Islam
Mulai abad pertengahan merupakan abad gemilang
bagi umat Islam. Abad inilah daerah-daerah Islam meluas di barat melalui Afrika
Utara sampai Spanyol, di Timur Melalui Pesia sampai India.
Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang
pada mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di
Bagdad. Dabad ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti ;Maliki, Syafi’I,
Hanafi, dan Hambali.
Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu,
maka ilmu pengetahuan lahir dan berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya,
baik dalam bidang agama, nono agama maupun dalam bidang kebudayaan lainnya.
Memasuki benua Eropa melalui Spanyol dan
Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan yang menguasai
alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya.
Di pandang dari segi sejarah kebudayaan, maka
maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu pengetahuan itu tidaklah kecil
nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan
dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama, paham tauhid yang dianut kaum muslimin
telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat,
pemujaan terhadap orang-orang yang suci dan hal lain yang membawa kepada
kekufuran.
Kedua, sifat jumud membuat umat Islam berhenti
berfikir dan berusaha, umat Islam maju di zaman klasik karena mereka
mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu selama umat Islam masih bersifat
jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad, tidak mungkin mengalami
kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang berusaha memberantas
kejumudan.
Ketiga, umat Islam selalu berpecah belah, maka
umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan. Umat Islam maju karena adanya
persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran yang diikat oleh tali ajaran
Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam bangkitlah suatu gerakan
pembaharuan.
Keempat, hasil dari kontak yang terjadi antara
dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak ini umat Islam sadar bahwa
mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan Barat, terutama sekali ketika
terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani dengan negara-negara Eropa, yang
biasanya tentara kerajaan Usmani selalu memperoleh kemenangan dalam peperangan,
akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan di tangan Barat, hal ini membuat
pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki rahasia kekuatan militer Eropa yang
aru muncul. Menurut mereka rahasianya terletak pada kekuatan militer modern
yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan dipusatkan di dalam lapangan militer,
namun pembaharuan di bidang lain disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan renaisans
Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka
pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan
ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali
prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan
dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan
dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu.
Adapun yang melatarbelakangi pemikiran politik
Islam adalah:
Pertama, kemunduran dan kerapuhan dunia Islam
yang disebabkan oleh faktor internal dan yang berakibat munculnya
gerakan-gerakan pembaharuan dan pemurnian.
Kedua, rongrongan Barat terhadap keutuhan
kekuasaan politik dan wilayah dunia Islam yang berakhir dengan dominasi atau
penjajahan oleh negara-negara Barat tersebut.
Ketiga, keunggulan Barat dalam bidang ilmu,
teknologi, dan organisasi.
Ketiga hal tersebut ini juga memberi pengaruh
pada pemikiran politik Islam yakni banyak di antara para pemikir politik Islam
tidak mengetengahkan konsepsi tentang system politik Islam, tetapi lebih kepada
konsepsi perjuangan politik umat Islam terhadap kezaliman penguasa, lebih-lebih
terhadap imperialis dan kolonialis Barat. Perhatian mereka lebih banyak
dipusatkan pada perjuangan pembebasan dunia Islam dari cengkraman atau dominasi
Barat. Kalau gerakan pembaharuan umat Islam di Turki pada akhirnya menimbulkan
Negara Turki yang bersifat sekuler, gerakan pembaharuan umat Islam di India
melahirkan Negara Pakistan yang mempunyai agama sebagai dasar.
Gerakan yang diusung oleh tiga tokoh pembaharu,
Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha, dikenal
dengan gerakan Salafiyah yaitu suatu aliran keagamaan yang berpendirian bahwa
untuk dapat memulihkan kejayaannya, umat Islam harus kembali kepada ajaran
Islam yang masih murni seperti yang dahulu diamalkan oleh generasi pertama
Islam.
Pemerintahan yang ideal menurut Muhammad Abduh
kurang lebih seperti yang diangankan oleh ahli-ahli hukum pada abad
pertengahan, penguasa yang adil, yang memerintah sesuai dengan hukum dan
bermusyawarah dengan para pemimpin rakyat.
Kemunculan ide pembaruan dilatarbelakangi oleh
suatu proses yang panjang. Sejak awal abad ke-2 H (8M). Islam dalam
perkembangan dakwahnya yang makin meluas mengharuskan Islam berinteraksi dengan
peradaban dan agama lain. Sehingga timbul pergolakan pemikiran antara Islam
dengan pemikiran asing. Hal ini mendorong para pemikir Islam untuk membahas
aqidah Islam dari berbagai segi. Termasuk mengemukakan argumentasi untuk
mempertahankan aqidah Islam ketika menghadapi aqidah lain (terutama Nashrani
dengan menggunakan cara berfikir filsafat Yunani). Akhirnya untuk menghadapi
orang-orang Nashrani, umat Islam pun mempelajari filsafat untuk membantah
tuduhan-tuduhan terhadap aqidah Islam, yang pada perkembangannya disebut dengan
ilmu kalam.
Ilmu kalam ini dikembangkan oleh generasi
setelah shahabat (khalaf) yang berbeda dengan generasi shahabat (salaf).
Kalangan khalaf telah membahas lebih jauh tentang dzat Allah dengan menggunakan
metode pembahasan filosof Yunani. Metode ini menjadikan akal sebagai dasar
pemikiran untuk membahas segala hal tentang iman.
Para pemikir Islam berusaha mempertemukan Islam
dengan pemikiran filsafat ini. Cara berfikir ini memunculkan interpretasi dan
penafsiran yang menjauhkan sebagian arti dan hakekat Islam yang sebenarnya. Hal
ini ditambahkan dengan masuknya orang-orang munafik ke tubuh umat Islam. Mereka
merekayasa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam dan justru
menimbulkan saling pertentangan. Terlebih lagi kelalaian kaum muslimin terhadap
penguasaan bahasa Arab dan pengembangan Islam yang terjadi sejak abad ke-7 H,
mengakibatkan Islam semakin mengalami kemerosotan.
Terkikisnya pemahaman Islam yang hakiki terus
berlanjut sampai awal abad ke-13 H. Saat itu umat Islam mulai mengupayakan
pembaruan untuk memahami syariat Islam yang akan diterapkan dalam masyarakat.
Islam ditafsirkan tidak semata-mata selaras dengan isi kandungan nash-nash.
Disaat kaum muslimin mengalami kemerosotan
berfikir, cara pandang mereka mulai teracuni oleh cara pandang asing. Tsaqofah
Islam kian melemah. Upaya-upaya pembaruan semakin merebak. Para pembaru
memandang perlunya mengatasi masalah dengan melakukan interpretasi hukum-hukum
Islam agar sesuai dengan kondisi yang ada. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah
umum dan hukum-hukum terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Bahkan mereka
membuat kaedah umum yang tidak berdasarkan perspektif wahyu (Al-Quran dan
Hadits).
Sampai dengan perempat ketiga abad ini, gerakan
Islam lebih merupakan pembaharuan dalam pengertian revitalitas atau semacam
romantisme. Hampir seluruh gerakan Islam dimotori oleh semangat menghidupkan
kembali tradisi Islam Klasik sebagai reaksi atas kebangkrutan kekuasaan politik
Islam di satu sisi sementara didomonasi politik dan intelektual Barat modern
merupakan fenomena mondial. Gerakan Islam baik di Timur Tengah maupun beberapa
kawasan Asia seperti India bertumpu pada emansipasi politik dan intelektual
dalam romantisme dan revitalisasi di atas
Walaupun kecendrungan di atas telah berhasil
membebaskan beberapa kawasan Islam dari kolonialisme dan membangkitkan kembali
kepercayaan diri dunia Islam, namun pembaharuan Islam bersifat eksternal. Di
sisi lain, Negara-negara baru Islam pun berhadapan dengan realitas baru
tumbuhnya Negara bangsa yang merupakan wacana baru pemikiran Islam.
Tanpa suatu tradisi intelektual yang mampu
berdialog dengan peradaban modern, Negara-negara baru Islam mulai berhadapan
dengan bagaimana membangun tata kehidupan sebagai realisasi semangat dan pesan
universal Islam. Pengembangan kehidupan sosial muslimpun berhadapan dengan
realitas obyektif yang kurang lebih serupa. Bagaimana membangun peradaban Islam
dalam masyarakat modern, sesungguhnya merupakan agenda gerakan Islam masa
depan.
Home » SKI XII » SKI KELAS XIIPEMBAHARUAN DAN MODERENISASI ISLAM
7/17/2020
SKI KELAS XIIPEMBAHARUAN DAN MODERENISASI ISLAM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar